KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT serta Shalawat
salam semoga senantiasa terlimpahkan atas Nabi besar Muhammad SAW, para sahabat
dan keluarganya serta para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Al-hamdulillah, akhirnya apa yang telah direncanakan untuk menyelesaikan makalah ini bisa terlaksana. Makalah ini disusun dalam rangka pemenuhan tugas akademik mata kuliah “Pendidikan Anti Korupsi”.
Tak ada gading yang tak retak, penyusun memohon maaf yang sebesar-besarnya bila di dalam penyusunan makalah ini banyak terdapat kekeliruan dan kekhilafan. Kebenaran dan kesempurnaan hanyalah milik Allah semata. Semoga Allah mengampuni dosa kita semua. Amiiin…
Al-hamdulillah, akhirnya apa yang telah direncanakan untuk menyelesaikan makalah ini bisa terlaksana. Makalah ini disusun dalam rangka pemenuhan tugas akademik mata kuliah “Pendidikan Anti Korupsi”.
Tak ada gading yang tak retak, penyusun memohon maaf yang sebesar-besarnya bila di dalam penyusunan makalah ini banyak terdapat kekeliruan dan kekhilafan. Kebenaran dan kesempurnaan hanyalah milik Allah semata. Semoga Allah mengampuni dosa kita semua. Amiiin…
Padang, 5 Januari
2015
Penulis
Ratny Gusdiwati
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar............................................................................................................... 1
Daftar Isi......................................................................................................................... 2
Bab 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang................................................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................. 4
1.3 Tujuan................................................................................................................ 4
Bab 11 Pembahasan
2.1 Pengertian korupsi............................................................................................ 5
2.2 Sejarah korupsi di Indonesia............................................................................. 5
2.3 Dampak masif korupsi...................................................................................... 7
2.4 Gambaran umum tentang korupsi di
Indonesia................................................ 11
2.5 Fenomena korupsi di Indonesia........................................................................ 12
2.6 Kebijkan pemerintah dalam
pemberantasan korupsi......................................... 13
2.7 Peran serta pemerintah dalam
memberantas korupsi........................................ 14
2.8 Peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi........................... 14
2.9 Upaya yang dapat ditempuh dalam pemberantasan
korupsi............................ 15
2.10
Kendala-Kendala
Yang Dihadapi Dalam Pemberantasan Korupsi................. 16
2.11 Faktor Pendorong Terjadinya
Korupsi di Indonesia........................................ 17
2.12 Nilai dan Prinsip Anti Korupsi......................................................................... 18
2.13 Peran dan
keterlibatan Mahasiswa dalam Gerakan Anti Korupsi.................... 18
Bab 111 Penutup
3.1 Kesimpulan......................................................................................................... 20
3.2 Saran............................................................................................................ ......21
Daftar Pustaka................................................................................................................ 22
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Istilah korupsi di Indonesia pada mulanya hanya terkandung dalam khazanah
perbincangan umum untuk menunjukkan penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan
pejabat-pejabat Negara. Namun karena penyakit tersebut sudah mewabah dan terus
meningkat dari tahun ke tahun bak jamur di musim hujan, maka banyak orang
memandang bahwa masalah ini bisa mempengaruhi kelancaran tugas-tugas pemerintah
dan merugikan ekonomi Negara.
Rakyat kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi dan
memberikan sanksi pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Namun yang paling
menyedihkan adalah sikap rakyat menjadi apatis dengan semakin meluasnya praktik-praktik
korupsi oleh beberapa oknum pejabat lokal, maupun nasional.
Kelompok mahasiswa sering menanggapi permasalahan korupsi dengan emosi dan
demonstrasi. Tema yang sering diangkat adalah “penguasa yang korup” dan “derita
rakyat”. Mereka memberikan saran kepada pemerintah untuk bertindak tegas kepada
para koruptor. Hal ini cukup berhasil terutama saat gerakan reformasi tahun 1998.
Mereka tidak puas terhadap perbuatan manipulatif dan koruptif para pejabat.
Oleh karena itu, mereka ingin berpartisipasi dalam usaha rekonstruksi terhadap
masyarakat dan sistem pemerintahan secara menyeluruh, mencita-citakan keadilan,
persamaan dan kesejahteraan yang merata.
Persoalan korupsi di Negara Indonesia terbilang kronis, bukan hanya
membudaya tetapi sudah membudidaya. Pengalaman pemberantasan korupsi di
Indonesia menunjukkan bahwa kegagalan demi kegagalan lebih sering terjadi
terutama terhadap pengadilan koruptor kelas kakap dibanding koruptor kelas
teri.
Beragam lembaga, produk hukum, reformasi birokrasi dan sinkronisasi telah
dilakukan, akan tetapi hal itu belum juga dapat menggeser kasta pemberantasan
korupsi. Seandainya saja kita sadar, pemberantasan korupsi meski sudah pada
tahun keenam perayaan hari antikorupsi ternyata masih jalan ditempat dan berkutat
pada tingkat “kuantitas”. Keberadaan lembaga-lembaga yang mengurus korupsi
belum memiliki dampak yang menakutkan bagi para koruptor, bahkan hal tersebut
turut disempurnakan dengan pemihakan-pemihakan yang tidak jelas.
Dalam masyarakat yang tingkat korupsinya seperti Indonesia, hukuman yang
setengah-setengah sudah tidak mempan lagi. Mulainya dari mana juga merupakan
masalah besar, karena boleh dikatakan semuanya sudah terjangkit penyakit
birokrasi. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan bagi kelangsungan hidup
rakyat yang dipimpin oleh para pejabat yang terbukti melekukan tindak korupsi.
Maka dari itu, di sini kami akan membahas tentang korupsi di Indonesia dan
upaya untuk memberantasnya.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan korupsi ?
2. Gambaran umum tentang korupsi di Indonesia dan jenis – jenis korupsi ?
3. Bagaimana fenomena korupsi di Indonesia ?
4. Kebijakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi ?
5. Peran serta semerintah dalam memberantas korupsi
6. Peran serta masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia ?
7. Upaya – upaya yang harus di lakukan dalam pemberantasan korupsi di
indonesia .?
8. Kendala/hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam pemberantasan
korupsi di Indonesia ?
9. Upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan dalam memberantas korupsi di
Indonesia ?
1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian korupsi
Korupsi berasal dari kata latin Corrumpere,
Corruptio, atau Corruptus. Arti
harfiah dari kata tersebut adalah penyimpangan dari kesucian (Profanity),
tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran atau
kecurangan. Dengan demikian korupsi memiliki konotasi adanya tindakan-tindakan
hina, fitnah atau hal-hal buruk lainnya. Bahasa Eropa Barat kemudian mengadopsi
kata ini dengan sedikit modifikasi; Inggris : Corrupt, Corruption; Perancis : Corruption;
Belanda : Korruptie. Dan akhirnya
dari bahasa Belanda terdapat penyesuaian ke istilah Indonesia menjadi : Korupsi.
Kumorotomo (1992 : 175), berpendapat bahwa “korupsi adalah penyelewengan
tanggung jawab kepada masyarakat, dan secara faktual korupsi dapat berbentuk
penggelapan, kecurangan atau manipulasi”. Lebih lanjut Kumorotomo mengemukakan
bahwa korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung
kekerasan (non-violence) dengan melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile),
ketidakjujuran (deceit) dan penyembunyian suatu kenyataan (concealment).
Selain pengertian di atas, terdapat pula istilah-istilah yang lebih merujuk
kepada modus operandi tindakan korupsi. Istilah penyogokan (graft), merujuk
kepada pemberian hadiah atau upeti untuk maksud mempengaruhi keputusan orang
lain. Pemerasan (extortion), yang diartikan sebagai permintaan setengah memaksa
atas hadiah-hadiah tersebut dalam pelaksanaan tugas-tugas Negara. Kecuali itu,
ada istilah penggelapan (fraud), untuk menunjuk kepada tindakan pejabat yang
menggunakan dana publik yang mereka urus untuk kepentingan diri sendiri
sehingga harga yang harus dibayar oleh masyarakat menjadi lebih mahal.
Dengan demikian, korupsi merupakan tindakan yang merugikan Negara baik
secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan ditinjau dari berbagai aspek
normatif, korupsi merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran. Di mana norma
soisal, norma hukum maupun norma etika pada umumnya secara tegas menganggap
korupsi sebagai tindakan yang buruk.
Dalam konteks perjalanan bangsa Indonesia,
persoalan korupsi memang telah mengakar dan membudaya. Bahkan dikalangan
mayoritas pejabat publik, tak jarang yang menganggap korupsi sebagi sesuatu
yang “lumrah dan Wajar”. Ibarat candu, korupsi telah menjadi barang bergengsi yang
jika tidak dilakukan, maka akan membuat “stress” para penikmatnya. Korupsi
berawal dari proses pembiasan, akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepada
sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat Negara. Tak
urung kemudian, banyak masyarakat yang begitu pesimis dan putus asa terhadap
upaya penegakan hukum untuk menumpas koruptor di Negara kita. Jika dikatakan
telah membudaya dalam kehidupan, lantas darimana awal praktek korupsi ini
muncul dan berkembang? Tulisan ini akan sedikit memberikan pemaparan mengenai asal-asul
budaya korupsi di Indonesia yang pada hakekatnya telah ada sejak dulu ketika
daerah-daerah di Nusantara masih mengenal system pemerintah feodal (Oligarkhi
Absolut), atau sederhananya dapat dikatakan, pemerintahan disaat daerah-daerah
yang ada di Nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh
kaum bangsawan (Raja, Sultan dll).
Secara garis besar, budaya korupsi di
Indonesia tumbuh dan berkembang melalui 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman
kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang ini.
Mari kita coba bedah satu-persatu pada setiap
fase tersebut.
1. Fase Zaman Kerajaan
Budaya korupsi di Indonesia pada
prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan
kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman
kerajaan-kerajaan kuno, seperti kerajaan Mataram, Majapahit, Singosari, Demak,
Banten dll, mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan
motif untuk memperkaya diri (sebagian kecil karena wanita), telah menjadi
faktor utama
kehancuran
kerajaan-kerajaan tersebut.
Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan
Singosari yang memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan
saling membalas dendam berebut kekuasaan, mulai dari Prabu Anusopati, Prabu
Ranggawuni, hingga Prabu Mahesa Wongateleng dan seterusnya. Hal yang sama juga
terjadi di Kerajaan Majapahit yang menyebabkan terjadinya beberapa kali konflik
yang berujung kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain.
Bahkan kita ketahui, kerajaan Majapahit
hancur akibat perang saudara yang kita kenal dengan “Perang Paregreg” yang
terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Lalu, kerajaan Demak yang memperlihatkan
persaingan antara Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang, ada juga Kerajaan
Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya
sendiri yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso. Hal menarik lainnya pada fase zaman
kerajaan ini adalah mulai terbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia.
Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang
lebih dikenal dengan “abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan
zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja atau
sultan. Hal tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya kalangan
opurtunis
yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar
dalam
tatanan pemerintahan kita dikmudian hari.
2. Fase
Zaman Penjajahan
Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah
mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita.
Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah colonial (terutama oleh
Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh
lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah untuk menjalankan
daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat
kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang
suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial
tertentu.
Mereka yang diangkat dan dipekerjakan
oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh
penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan
rakyat Indonesia. Sepintas, cerita-cerita film semisal Si Pitung, Jaka Sembung,
Samson & Delila, dll, sangat cocok untuk menggambarkan situasi
masyarakat Indonesia.
3. Fase Zaman Modern
Seperti yang telah diketahui,
pada saat sekarang ini banyak terdapat penyalahgunaan kekuasaan oleh para
pejabat-pejabat yang ada di Indonesia hanya untuk kepentingan pribadi, keluarga
ataupun kelompoknya tanpa memikirkan orang yang ada dibawahnya.
2.3 Dampak masif korupsi
a. Dampak
Korupsi terhadap Ekonomi
Korupsi
memiliki berbagai efek penghancuran yang hebat (an enermous destruction
effects) terhadap orang miskin, dengan dua dampak yang saling bertaut satu
sama lain. Pertama, dampak langsung yang dirasakan oleh orang miskin yakni
semakin mahalnya harga jasa berbagai pelayanan publik, rendahnya kualitas
pelayanan, dan juga sering terjadinya
pembatasan
akses terhadap berbagai pelayanan vital seperti air, kesehatan, dan pendidikan.
Kedua, dampak tidak langsung terhadap orang miskin yakni pengalihan sumber daya
milik publik untuk kepentingan pribadi dan kelompok, yang seharusnya
diperuntukkan guna kemajuan sektor sosial dan orang miskin, melalui pembatasan
pembangunan. Dampak yang tidak langsung ini umumnya memiliki pengaruh
atas langgengnya sebuah kemiskinan.
Secara
sederhana penduduk miskin di wilayah Indonesia dapat dikategorikan dalam dua
kategori, yakni :
1. Kemiskinan kronis (chronic poverty) atau kemiskinan struktural yang bersifat terus menerus;
2. Kemiskinan sementara (transient poverty), yaitu kemiskinan yang indikasinya adalah menurunnya pendapatan (income) masyarakat untuk sementara waktu akibat perubahan yang terjadi, semisal terjadinya krisis moneter. Mengingat adanya kemiskinan struktural, maka adalah naif jika kita beranggapan bahwa virus kemiskinan yang menjangkit di tubuh masyarakat adalah buah dari budaya malas dan etos kerja yang rendah (culture of poverty). William Ryan, seorang sosiolog ahli kemiskinan, menyatakan bahwa kemiskinan bukanlah akibat dari berkurangnya semangat wiraswasta, tidak memiliki hasrat berprestasi, fatalis. Pendekatan ini dapat disebut sebagai blaming the victim (menyalahkan korban).
1. Kemiskinan kronis (chronic poverty) atau kemiskinan struktural yang bersifat terus menerus;
2. Kemiskinan sementara (transient poverty), yaitu kemiskinan yang indikasinya adalah menurunnya pendapatan (income) masyarakat untuk sementara waktu akibat perubahan yang terjadi, semisal terjadinya krisis moneter. Mengingat adanya kemiskinan struktural, maka adalah naif jika kita beranggapan bahwa virus kemiskinan yang menjangkit di tubuh masyarakat adalah buah dari budaya malas dan etos kerja yang rendah (culture of poverty). William Ryan, seorang sosiolog ahli kemiskinan, menyatakan bahwa kemiskinan bukanlah akibat dari berkurangnya semangat wiraswasta, tidak memiliki hasrat berprestasi, fatalis. Pendekatan ini dapat disebut sebagai blaming the victim (menyalahkan korban).
Pada
tahun 2000-2001, the Partnership for Governanve Reform in Indonesia andthe
World Bank telah melaksanakan proyek “Corruption and the
Porr”. Proyek ini memotret wilayah permukiman kumuh di Makassar,
Yogyakarta, dan Jakarta. Tujuannya ingin menjelaskan bagaimana korupsi
mempengaruhi kemiskinan kota. Dengan mengaplikasikan suatu metode the
Participatory Corruption assessment (PCA), di setiap lokasi
penelitian, tim proyek melakukan diskusi bersama 30-40 orang miskin mengenai
pengalaman mereka bersentuhan dengan korupsi. Kegiatan ini juga diikuti
dengan wawancara perseorangan secara mendalam untuk mengetahui dimana dan
bagaimana korupsi memiliki pengaruh atas diri mereka. Sebuah wawasan dan
pemahaman yang holistik tentang pengaruh korupsi terhadap kehidupan sosial
orang miskin pun didapat.
Para
partisipan program PCA ini mengidentifikasi empat risiko tinggi korupsi,
yakni :
1.
Ongkos finansial (financial cost)
Korupsi telah menggerogoti budget ketat yang tersedia dan meletakkan beban yang lebih berat ke pundak orang miskin dibandingkan dengan si kaya.
Korupsi telah menggerogoti budget ketat yang tersedia dan meletakkan beban yang lebih berat ke pundak orang miskin dibandingkan dengan si kaya.
2. Modal manusia (human capital)
Korupsi merintangi akses pada efektivitas jasa pelayanan sosial termasuk sekolah, pelayanan kesehatan, skema subsidi makanan, pengumpulan sampah, yang kesemuanya berpengaruh pada kesehatan orang miskin dan keahliannya.
Korupsi merintangi akses pada efektivitas jasa pelayanan sosial termasuk sekolah, pelayanan kesehatan, skema subsidi makanan, pengumpulan sampah, yang kesemuanya berpengaruh pada kesehatan orang miskin dan keahliannya.
3. Kehancuran moral (moral decay)
Korupsi merupakan pengingkaran dan pelanggaran atas hukum yang berlaku (the rule law) untuk meneguhkan suatu budaya korupsi (culture of corruption)
Korupsi merupakan pengingkaran dan pelanggaran atas hukum yang berlaku (the rule law) untuk meneguhkan suatu budaya korupsi (culture of corruption)
4. Hancurnya modal sosial (loss of social
capital)
Korupsi mengikis kepercayaan dan memberangus hubungan serta memporakporandakan kohesifitas komunitas.
Korupsi mengikis kepercayaan dan memberangus hubungan serta memporakporandakan kohesifitas komunitas.
b. Dampak Sosial dan kemiskinan
masyarakat
Korupsi
tidak diragukan dalam menyuburkan berbagai jenis kejahatan dalam masyarakat. 1. Menurut Alatas, melalui praktik
korupsi, sindikat kejahatan atau penjahat perseorangan dapat leluasa melanggar
hukum, menyusupi berbagai oraganisasi negara dan mencapai kehormatan. Di
India, para penyelundup yang populer sukses menyusup ke dalam tubuh partai dan
memangku jabatan penting. Bahkan, di Amerika Serikat, melalui suap, polisi
korup menyediakan proteksi kepada organisasi-organisasi kejahatan dengan
pemerintahan yang korup. Semakin tinggi tingkat korupsi, semakin besar
pula kejahatan.
2. Menurut
Transparensy International, terdapat pertalian erat antara jumlah korupsi dan
jumlah kejahatan. Rasionalnya, ketika angka korupsi meningkat, maka angka
kejahatan yang terjadi juga meningkat. Sebaliknya, ketika angka korupsi
berhasil dikurangi, maka kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum (law
enforcement) juga meningkat. Jadi bisa dikatakan, mengurangi korupsi
dapat juga (secara tidak langsung) mengurangi kejahatan lain dalam masyarakat.
3. Soerjono
Soekanto menyatakan bahwa penegakan hukum di suatu negara selain tergantung
dari hukum itu sendiri, profesionalisme aparat, sarana dan prasarana, juga
tergantung pada kesadaran hukum masyarakat. Memang secara ideal, angka
kejahatan akan berkurang jika timbul kesadaran masyarakat (marginal
detterence). Kondisi ini hanya terwujud jika tingkat kesadaran hukum dan
kesejahteraan masyarakat sudah memadai.
c. Dampak terhadap politik dan
Demokrasi
Negara
kita sering disebut bureaucratic polity. Birokrasi pemerintah
merupakan sebuah kekuatan besar yang sangat berpengaruh terhadap sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Selain itu, birokrasi pemerintah
juga merupakan garda depan yang berhubungan dengan pelayanan umum kepada
masyarakat. Namun di sisi lain, birokrasi sebagai pelaku roda pemerintahan
merupakan kelompok yang rentan terhadap jerat korupsi.
Korupsi
melemahkan birokrasi sebagai tulang punggung negara. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa birokrasi di tanah air seolah menjunjung tinggi pameo “jika
bisa dibuat sulit, mengapa harus dipermudah”. Semakin tidak efisien
birokrasi bekerja, semakin besar pembiayaan tidak sah atas institusi negara
ini. Sikap masa bodoh birokrat pun akan melahirkan berbagai masalah yang
tidak terhitung banyaknya. Singkatnya, korupsi menumbuhkan ketidakefisienan
yang menyeluruh di dalam birokrasi.
Korupsi
dalam birokrasi dapat dikategorikan dalam dua kecenderungan umum :
yang menjangkiti masyarakat dan yang dilakukan di kalangan mereka
sendiri. Korupsi tidak saja terbatas pada transaksi yang korup yang
dilakukan dengan sengaja oleh dua pihak atau lebih, melainkan juga meliputi
berbagai akibat dari perilaku yang korup, homo venalis.
Transparency
International (TI), sebagai lembaga internasional yang bergerak dalam upaya
antikorupsi, membagi kegiatan korupsi di sektor publik ke dalam dua jenis,
yaitu :
1. Korupsi
administratif
Secara administratif, korupsi bisa dilakukan “sesuai dengan hukum”, yaitu meminta imbalan atas pekerjaan yang seharusnya memang dilakukan, serta korupsi yang “bertentangan dengan hukum” yaitu meminta imbalan uang untuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya dilarang untuk dilakukan. Di tanah air, jenis korupsi administratif berwujud uang pelicin dalam mengurus berbagai surat-surat, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Ijin Mengemudi (SIM), akte lahir, dan paspor agar prosesnya lebih cepat. Padahal, seharusnya tanpa uang pelicin surat-surat ini memang harus diproses dengan cepat.
Secara administratif, korupsi bisa dilakukan “sesuai dengan hukum”, yaitu meminta imbalan atas pekerjaan yang seharusnya memang dilakukan, serta korupsi yang “bertentangan dengan hukum” yaitu meminta imbalan uang untuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya dilarang untuk dilakukan. Di tanah air, jenis korupsi administratif berwujud uang pelicin dalam mengurus berbagai surat-surat, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Ijin Mengemudi (SIM), akte lahir, dan paspor agar prosesnya lebih cepat. Padahal, seharusnya tanpa uang pelicin surat-surat ini memang harus diproses dengan cepat.
2. Korupsi politik
Jenis korupsi politik muncul dalam bentuk “uang damai”. Misalnya, uang yang diberikan dalam kasus pelanggaran lalu lintas agar si pelanggar tidak perlu ke pengadilan.
Jenis korupsi politik muncul dalam bentuk “uang damai”. Misalnya, uang yang diberikan dalam kasus pelanggaran lalu lintas agar si pelanggar tidak perlu ke pengadilan.
Manajemen
kerja birokrasi yang efisien sungguh merupakan barang yang langka di tanah
air. Menurut HS. Dillon, birokrasi hanya dapat digerakkan oleh politikus
yang berkeahlian dalam bidangnya. Bukan sekedar pejabat yang direkrut dari
kalangan profesi atau akademikus tanpa pengalaman dan pemahaman tentang
kerumitan birokrasi.
d. Dampak terhadap briokrasi Pemerintahan
Korupsi,
tidak diragukan, menciptakan dampak negatif terhadap kinerja suatu sistem
politik atau pemerintahan.
a. Pertama, korupsi mengganggu kinerja sistem politik
yang berlaku. Pada dasarnya, isu korupsi lebih sering bersifat personal. Namun,
dalam manifestasinya yang lebih luas, dampak korupsi tidak saja bersifat
personal, melainkan juga dapat mencoreng kredibilitas organisasi tempat si
koruptor bekerja. Pada tataran tertentu, imbasnya dapat bersifat sosial.
Korupsi yang berdampak sosial sering bersifat samar, dibandingkan dengan dampak
korupsi terhadap organisasi yang lebih nyata.
b. Kedua,
publik cenderung meragukan citra dan kredibilitas suatu lembaga yang diduga
terkait dengan tindak korupsi.
c. Ketiga,
lembaga politik diperalat untuk menopang terwujudnya berbagai kepentingan
pribadi dan kelompok. Ini mengandung arti bahwa lembaga politik telah dikorupsi
untuk kepentingan yang sempit (vested interest). Sering terdengar
tuduhan umum dari kalangan anti-neoliberalis bahwa lembaga multinasional
seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), IF, dan Bank Dunia adalah
perpanjangan kepentingan kaum kapitalis dan para hegemoni global yang ingin
mencaplok politik dunia di satu tangan raksasa. Tuduhan seperti ini sangat
mungkin menimpa pejabat publik yang memperalat suatu lembaga politik untuk
kepentingan pribadi dan kelompoknya. Dalam kasus seperti ini, kehadiran
masyarkat sipil yang berdaya dan supremasi hukum yang kuat dapat meminimalisir
terjadinya praktik korupsi yang merajalela di masyarakat.
Sementara
itu, dampak korupsi yang menghambat berjalannya fungsi pemerintah, sebagai
pengampu kebijakan negara, dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Korupsi menghambat peran negara dalam pengaturan alokasi,
2. Korupsi menghambat negara melakukan pemerataan akses dan aset,
3. Korupsi juga memperlemah peran pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan politik.
1. Korupsi menghambat peran negara dalam pengaturan alokasi,
2. Korupsi menghambat negara melakukan pemerataan akses dan aset,
3. Korupsi juga memperlemah peran pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan politik.
Dengan
demikian, suatu pemerintahan yang terlanda wabah korupsi akan mengabaikan
tuntutan pemerintahan yang layak. Menurut Wang An Shih, koruptor sering
mengabaikan kewajibannya oleh karena perhatiannya tergerus untuk kegiatan
korupsi semata-mata. Hal ini dapat mencapai titik yang membuat orang
tersebut kehilangan sensitifitasnya dan akhirnya menimbulkan bencana bagi
rakyat.
e. Dampak
terhadap kerusakan lingkungan
Korupsi
yang merajalela di lingkungan pemerintah akan menurunkan kredibilitas
pemerintah yang berkuasa. Ia meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap
berbagai tindakan pemerintah. Jika suatu pemerintah tidak lagi mampu memberi
pelayanan terbaik bagi warganya, maka rasa hormat rakyat dengan sendirinya akan
luntur. Jika pemerintahan justru memakmurkan praktik korupsi, maka lenyap pula
unsur hormat dan trust (kepercayaan) masyarakat kepada
pemerintahan. Karenanya, praktik korupsi yang kronis menimbulkan demoralisasi
di kalangan masyarakat.
2.4 Gambaran umum tentang korupsi di Indonesia
Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an
bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah melalui
Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 yang diikuti dengan dilaksanakannya “Operasi
Budhi” dan Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 228 Tahun 1967 yang dipimpin langsung oleh Jaksa Agung, belum membuahkan
hasil nyata.
Pada era Orde Baru, muncul Undang-Undang Nomor3 Tahun 1971 dengan “Operasi
Tertib”yang dilakukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib), namun dengan kemajuan iptek, modus operandi korupsi semakin
canggih dan rumit sehingga Undang-Undang tersebut gagal dilaksanakan.
Selanjutnya dikeluarkan kembali Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Upaya-upaya hukum yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup
banyak dan sistematis. Namun korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir
1997 saat negara mengalami krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan
kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis multidimensi. Gerakan
reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru menuntut antara lain ditegakkannya
supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN).
Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999
& Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penye-lenggaraan Negara yang
Bersih & Bebas dari KKN.
Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
ada tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi.
Namun secara ringkas tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi:
1.
Kerugian
keuntungan Negara
2.
Suap-menyuap
(istilah lain : sogokan atau pelicin)
3.
Penggelapan
dalam jabatan
4.
Pemerasan
5.
Perbuatan
curang
6.
Benturan
kepentingan dalam pengadaan
7.
Gratifikasi
(istilah lain : pemberian hadiah).
2.5 Fenomena Korupsi Di Indonesia
Fenomena umum yang biasanya terjadi di negara berkembang contohnya
Indonesia ialah:
1.
Proses
modernisasi belum ditunjang oleh kemampuan sumber daya manusia pada
lembaga-lembaga politik yang ada.
2.
Institusi-institusi
politik yang ada masih lemah disebabkan oleh mudahnya “ok-num” lembaga tersebut
dipengaruhi oleh kekuatan bisnis/ekonomi, sosial, keaga-maan, kedaerahan,
kesukuan, dan profesi serta kekuatan asing lainnya.
3.
Selalu
muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya banyak di
antara mereka yang tidak mampu.
4.
Mereka hanya
ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya dengan dalih “kepentingan
rakyat”.
Sebagai akibatnya, terjadilah runtutan peristiwa sebagai berikut :
1.
Partai
politik sering inkonsisten, artinya pendirian dan ideologinya sering
beru-bah-ubah sesuai dengan kepentingan politik saat itu.
2.
Muncul
pemimpin yang mengedepankan kepentingan pribadi daripada kepenting-an umum.
3.
Sebagai
oknum pemimpin politik, partisipan dan kelompoknya berlomba-lomba mencari
keuntungan materil dengan mengabaikan kebutuhan rakyat.
4.
Terjadi erosi
loyalitas kepada negara karena menonjolkan pemupukan harta dan
kekuasaan. Dimulailah pola tingkah para korup.
5.
Sumber
kekuasaan dan ekonomi mulai terkonsentrasi pada beberapa kelompok kecil yang
mengusainya saja. Derita dan kemiskinan tetap ada pada kelompok masyarakat
besar (rakyat).
6.
Lembaga-lembaga
politik digunakan sebagai dwi aliansi, yaitu sebagai sektor di bidang politik
dan ekonomi-bisnis.
7. Kesempatan
korupsi lebih meningkat seiring dengan semakin meningkatnya ja-batan dan
hirarki politik kekuasaan.
2.6 Kebijakan
Pemerintah Dalam Pemberantasan Korupsi
Mewujudkan keseriusan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi, Telah di
keluarkan berbagai kebijakan. Di awali dengan penetapan anti korupsi sedunia
oleh PBB pada tanggal 9 Desember 2004, Presiden susilo Budiyono telah
mengeluarkan instruksi Presiden Nomor 5tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan secara khusus Kepada Jalsa Agung
Dan kapolri:
1.
Mengoptimalkan
upaya – upaya penyidikan/Penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk
menghukum pelaku dan menelamatkan uang negara.
2.
Mencegan
& memberikan sanksi tegas terhadap penyalah gunaan wewenang yg di lakukan
oleh jaksa (Penuntut Umum)/ Anggota polri dalam rangka penegakan hukum.
3.
Meningkatkan
Kerjasama antara kejaksaan dgn kepolisian Negara RI, selain denagan
BPKP,PPATK,dan intitusi Negara yang terkait denagn upaya penegakan hukum dan
pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi
Kebijakan selanjutnya adalah menetapkan Rencana aksi nasional Pemberantasan
Korupsi (RAN-PK) 2004-2009. Langkag – langkah pencegahan dalam RAN-PK di
prioritaskan pada :
1.
Mendesain
ulang layanan publik .
2.
Memperkuat
transparasi, pengawasan, dan sanksi pada kegiatan pemerintah yg berhubungan
Ekonomi dan sumber daya manusia.
3.
Meningkatkan
pemberdayaan pangkat – pangkat pendukung dalam pencegahan korupsi.
2.7 Peran Serta
Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi:
Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengawali
upaya-upaya pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat
hukum lain.
KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan
memberan-tas korupsi, merupakan komisi independen yang diharapkan mampu menjadi
“martir” bagi para pelaku tindak KKN.
Adapun agenda KPK adalah sebagai
berikut :
1.
Membangun
kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.
2.
Mendorong
pemerintah melakukan reformasi public sector dengan
mewujudkan good governance.
3.
Membangun
kepercayaan masyarakat.
4.
Mewujudkan
keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.
5.
Memacu
aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.
2.8 Peran serta mayarakat dalam upaya
pemberantasan korupsi:
Bentuk – bentuk peran serta mayarakat dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi menurut UU No. 31 tahun 1999 antara lain adalah SBB :
1.
Hak Mencari,
memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan tindak pidana korupsi
2.
Hak untuk
memperoleh layanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya
dugaan telah tindak pidana korupsi kepada penegak hukum
3.
Hak
menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kpada penegak hukum
yang menangani perkara tindak pidana korupsi
4.
Hak
memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yg di berikan kepada penegak
hukum waktu paling lama 30 hari
5.
Hak untuk
memperoleh perlindungan hukum
6.
Penghargaan
pemerintah kepada mayarakat
2.9 Upaya yang dapat ditempuh dalam pemberantasan korupsi:
Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di
Indone-sia, antara lain sebagai berikut :
1.
Upaya
Pencegahan (Preventif)
a)
Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian
pada bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan agama.
b) Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis.
c) Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki
tang-gung jawab yang tinggi.
d) Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan
masa tua.
e) Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang
tinggi.
f) Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab
etis tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang efisien.
g) Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok.
h) Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan
mela-lui penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan di bawahnya.
2.
Upaya
Penindakan (Kuratif):
Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar
dengan dibe-rikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum
pidana. Beberapa contoh penindakan yang dilakukan oleh KPK :
a) Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia
milik Pemda NAD (2004).
b) Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga melekukan
pungutan liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian.
c) Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta
(2004).
d) Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah yang merugikan
keuang-an negara Rp 10 milyar lebih (2004).
e) Dugaan korupsi pada penyalahgunaan
fasilitas preshipment dan placement deposito dari BI kepada
PT Texmaco Group melalui BNI (2004).
f) Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit BPK (2005).
g) Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta (2005).
h) Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo.
i) Menetapkan seorang bupati di Kalimantan Timur sebagai tersangka dalam kasus
korupsi Bandara Loa Kolu yang diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 15,9
miliar (2004).
j) Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).
3.
Upaya
Edukasi Masyarakat/Mahasiswa:
a) Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol
sosial terkait dengan kepentingan publik.
b) Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
c) Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa
hingga ke tingkat pusat/nasional.
d) Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan pemerintahan
negara dan aspek-aspek hukumnya.
e)
Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam
setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas
4.
Upaya Edukasi LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat):
a) Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang mengawasi
dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia dan terdiri dari
sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui usaha
pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan praktik korupsi. ICW la-hir di
Jakarta pd tgl 21 Juni 1998 di tengah-tengah gerakan reformasi yang
meng-hendaki pemerintahan pasca-Soeharto yg bebas korupsi.
b) Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang
bertujuan memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai organisasi
nirlaba sekarang menjadi organisasi non-pemerintah yang bergerak menuju
organisasi yang demokratik. Publikasi tahunan oleh TI yang terkenal adalah
Laporan Korupsi Global. Survei TI Indonesia yang membentuk Indeks Persepsi
Korupsi (IPK) Indonesia 2004 menyatakan bahwa Jakarta sebagai kota terkorup di
Indonesia, disusul Surabaya, Medan, Semarang dan Batam. Sedangkan survei TI
pada 2005, Indonesia berada di posisi keenam negara terkorup di dunia. IPK
Indonesia adalah 2,2 sejajar dengan Azerbaijan, Kamerun, Etiopia, Irak, Libya
dan Usbekistan, serta hanya lebih baik dari Kongo, Kenya, Pakistan, Paraguay,
Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti & Myanmar. Sedangkan Islandia
adalah negara terbebas dari korupsi.
2.10 Kendala-Kendala
Yang Dihadapi Dalam Pemberantasan Korupsi
Korupsi dapat terjadi di negara maju maupun negara berkembang seperti
Indonesia. Adapun hasil analisis penulis dari beberapa teori dan kejadian di
lapangan, ternyata hambatan/kendala-kendala yang dihadapi Bangsa Indonesia
dalam meredam korupsi antara lain adalah :
1.
Penegakan
hukum yang tidak konsisten dan cenderung setengah-setengah.
2.
Struktur
birokrasi yang berorientasi ke atas, termasuk perbaikan birokrasi yang
cenderung terjebak perbaikan renumerasi tanpa membenahi struktur dan kultur.
3.
Kurang
optimalnya fungsi komponen-komponen pengawas atau pengontrol, sehingga tidak
ada check and balance.
4.
Banyaknya
celah/lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan korupsi pada sistem politik
dan sistem administrasi negara Indonesia.
5.
Kesulitan
dalam menempatkan atau merumuskan perkara, sehingga dari contoh-contoh kasus
yang terjadi para pelaku korupsi begitu gampang mengelak dari tuduhan yang
diajukan oleh jaksa.
6.
Taktik-taktik
koruptor untuk mengelabui aparat pemeriksa, masyarakat, dan negara yang semakin
canggih.
7.
Kurang
kokohnya landasan moral untuk mengendalikan diri dalam menjalankan amanah yang
diemban.
2.11 Faktor Pendorong Terjadinya Korupsi di
Indonesia
a. Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang
tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di
rezim-rezim yang bukan demokratik.
b. Gaji yang masih rendah, kurang sempurnanya
peraturan perundang-undangan, administrasi yang lamban dan sebagainya.
c. Sikap mental para pegawai yang
ingin cepat kaya dengan cara yang haram, tidak ada kesadaran bernegara, tidak
ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah.
e. Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan
pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
f. Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah
besar.
g. Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri
dan jaringan "teman lama".
2.12 Nilai
dan Prinsip Anti Korupsi
Pada
dasarnya korupsi terjadi karena adanya faktor internal (niat) dan faktor
eksternal (kesempatan). Niat lebih terkait dengan faktor individu yang meliputi
prilaku dan nilai-nilai yang dianut, sedangkan kesempatan terkait dengan sistem
yang berlaku. Upaya pencegahan korupsi dapat dimulai dengan menanamkan
nilai-nilai anti korupsi pada semua individu.” Setidaknya ada sembilan
nilai-nilai anti korupsi yang penting untuk ditanamkan pada semua orang, yaitu
:
1.
Kejujuran
2.
Kepedulian
3.
Kemandirian
4.
Kedisiplinan
5.
Tanggung
jawab
6.
Kerja
Keras,
7.
Sederhana,
8.
Keberanian,
dan
9.
Keadilan.
2.13 Peran
dan keterlibatan Mahasiswa dalam Gerakan Anti Korupsi
Mahasiswa
mempunyai potensi besar untuk menjadi agen perubahan dan motor penggerak dalam
gerakan anti korupsi.
Peran
mahasiswa dalam pemberantasan korupsi:
1.Menjaga
diri dan komunitas mahasiswa bersih dari korupsi dan perilaku koruptif.
2.Membangun
dan memelihara gerakan anti korupsi.
Adapun
upaya-upaya yang bisa dilakukan oleh mahasiswa dalam pemberantasan korupsi
adalah:
a. Menciptakan lingkungan bebas dari korupsi di
kampus.
Hal ini terutama dimulai dari kesadaran masing-masing mahasiswa yaitu menanamkan kepada diri mereka sendiri bahwa mereka tidak boleh melakukan tindakan korupsi walaupun itu hanya tindakan sederhana, misalnya terlambat datang ke kampus, menitipkan absen kepada teman jika tidak masuk atau memberikan uang suap kepada para pihak pengurus beasiswa dan macam-macam tindakan lainnya. Memang hal tersebut kelihatan sepele tetapi berdampak fatal pada pola pikir dan dikhawatirkan akan menjadi kebiasaan bahkan yang lebih parah adalah menjadi sebuah karakter.
Hal ini terutama dimulai dari kesadaran masing-masing mahasiswa yaitu menanamkan kepada diri mereka sendiri bahwa mereka tidak boleh melakukan tindakan korupsi walaupun itu hanya tindakan sederhana, misalnya terlambat datang ke kampus, menitipkan absen kepada teman jika tidak masuk atau memberikan uang suap kepada para pihak pengurus beasiswa dan macam-macam tindakan lainnya. Memang hal tersebut kelihatan sepele tetapi berdampak fatal pada pola pikir dan dikhawatirkan akan menjadi kebiasaan bahkan yang lebih parah adalah menjadi sebuah karakter.
Selain kesadaran pada masing-masing
mahasiswa maka mereka juga harus memperhatikan kebijakan internal kampus agar
dikritisi sehingga tidak memberikan peluang kepada pihak-pihak yang ingin
mendapatkan keuntungan melalui korupsi. Misalnya ketika penerimaan mahasiswa
baru mengenai biaya yang diestimasikan dari pihak kampus kepada calon mahasiswa
maka perlu bagi mahasiswa untuk mempertanyakan dan menuntut sebuah transparasi
dan jaminan yang jelas dan hal lainnya. Jadi posisi mahasiswa di sini adalah
sebagai pengontrol kebijakan internal universitas. Dengan adanya kesadaran
serta komitmen dari diri sendiri dan sebagai pihak pengontrol kebijakan
internal kampus maka bisa menekan jumlah pelaku korupsi.
Upaya lain untuk menciptakan lingkungan bebas dari korupsi di lingkungan kampus adalah mahasiswa bisa membuat koperasi atau kantin jujur. Tindakan ini diharapkan agar lebih mengetahui secara jelas signifikansi resiko korupsi di lingkungan kampus.
Mahasiswa juga bisa berinisiatif membentuk organisasi atau komunitas intra kampus yang berprinsip pada upaya memberantas tindakan korupsi. Organisasi atau komunitas tersebut diharapkan bisa menjadi wadah mengadakan diskusi atau seminar mengenai bahaya korupsi. Selain itu organisasi atau komunitas ini mampu menjadi alat pengontrol terhadap kebijakan internal kampus.
Upaya lain untuk menciptakan lingkungan bebas dari korupsi di lingkungan kampus adalah mahasiswa bisa membuat koperasi atau kantin jujur. Tindakan ini diharapkan agar lebih mengetahui secara jelas signifikansi resiko korupsi di lingkungan kampus.
Mahasiswa juga bisa berinisiatif membentuk organisasi atau komunitas intra kampus yang berprinsip pada upaya memberantas tindakan korupsi. Organisasi atau komunitas tersebut diharapkan bisa menjadi wadah mengadakan diskusi atau seminar mengenai bahaya korupsi. Selain itu organisasi atau komunitas ini mampu menjadi alat pengontrol terhadap kebijakan internal kampus.
b.
Memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang bahaya melakukan korupsi.
Memberikan penyuluha serta menghimbau agar masyarakat ikut serta dalam menindaklanjuti (berperan aktif) dalam memberantas tindakan korupsi yang terjadi di sekitar lingkungan mereka. Selain itu, masyarakat dituntut lebih kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dirasa kurang relevan. Maka masyarakat sadar bahwa korupsi memang harus dilawan dan dimusnahkan dengan mengerahkan kekuatan secara massif, artinya bukan hanya pemerintah saja melainakan seluruh lapisan masyarakat.
Memberikan penyuluha serta menghimbau agar masyarakat ikut serta dalam menindaklanjuti (berperan aktif) dalam memberantas tindakan korupsi yang terjadi di sekitar lingkungan mereka. Selain itu, masyarakat dituntut lebih kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dirasa kurang relevan. Maka masyarakat sadar bahwa korupsi memang harus dilawan dan dimusnahkan dengan mengerahkan kekuatan secara massif, artinya bukan hanya pemerintah saja melainakan seluruh lapisan masyarakat.
c. Menjadi alat pengontrol terhadap kebijakan
pemerintah.
Mahasiswa selain sebagai agen perubahan juga bertindak sebagai agen pengontrol dalam pemerintahan. Kebijakan pemerintah sangat perlu untuk dikontrol dan dikritisi jika dirasa kebijakan tersebut tidak memberikan dampak positif pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat dan semakin memperburuk kondisi masyarakat. Misalnya dengan melakukan demo untuk menekan pemerintah atau melakukan jajak pendapat untuk memperoleh hasil negosiasi yang terbaik.
Mahasiswa selain sebagai agen perubahan juga bertindak sebagai agen pengontrol dalam pemerintahan. Kebijakan pemerintah sangat perlu untuk dikontrol dan dikritisi jika dirasa kebijakan tersebut tidak memberikan dampak positif pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat dan semakin memperburuk kondisi masyarakat. Misalnya dengan melakukan demo untuk menekan pemerintah atau melakukan jajak pendapat untuk memperoleh hasil negosiasi yang terbaik.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Korupsi merupakan tindakan buruk yang dilakukan oleh aparatur birokrasi
serta orang-orang yang berkompeten dengan birokrasi. Korupsi dapat bersumber
dari kelemahan-kelemahan yang terdapat pada sistem politik dan sistem
administrasi negara dengan birokrasi sebagai prangkat pokoknya.
Keburukan hukum merupakan penyebab lain meluasnya korupsi. Seperti halnya
delik-delik hukum yang lain, delik hukum yang menyangkut korupsi di Indonesia
masih begitu rentan terhadap upaya pejabat-pejabat tertentu untuk membelokkan
hukum menurut kepentingannya. Dalam realita di lapangan, banyak kasus untuk
menangani tindak pidana korupsi yang sudah diperkarakan bahkan terdakwapun
sudah divonis oleh hakim, tetapi selalu bebas dari hukuman. Itulah sebabnya
kalau hukuman yang diterapkan tidak drastis, upaya pemberantasan korupsi dapat
dipastikan gagal.
Meski demikian, pemberantasan korupsi jangan menajadi “jalan tak ada
ujung”, melainkan “jalan itu harus lebih dekat ke ujung tujuan”. Upaya-upaya
untuk mengatasi persoalan korupsi dapat ditinjau dari struktur atau sistem
sosial, dari segi yuridis, maupun segi etika atau akhlak manusia.
3.2 Saran
a.
Perlu dikaji lebih dalam lagi tentang teori upaya pemberantasan korupsi di
Indonesia agar mendapat informasi yang lebih akurat.
b. Diharapkan para pembaca setelah membaca makalah ini mampu
mengaplikasikannya di dalam kehidupan sehari-hari.
c. Memiliki sifat takut dalam melakukan korupsi.
d. Jangan menghancurkan orang lain demi
kepentingan pribadi.
e. Berusaha bersikap jujur didalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
f. Mengetahui dampak terjadinya korupsi.
g. Memiliki pendidikan yang kuat apalagi dalam
pemberantasan korupsi.
h. Menegakkan
hukum secara adil dan konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
norma-norma lainnya yang berlaku.
i. Adanya penjabaran rumusan perundang-undangan
yang jelas, sehingga tidak menyebabkan kekaburan atau perbedaan persepsi
diantara para penegak hukum dalam menangani kasus korupsi.
j. Semua
elemen (aparatur negara, masyarakat, akademisi, wartawan) harus memiliki
idealisme, keberanian untuk mengungkap penyimpangan-penyimpangan secara
objektif, jujur, kritis terhadap tatanan yang ada disertai dengan keyakinan
penuh terhadap prinsip-prinsip keadilan.
k. Melakukan
pembinaan mental dan moral manusia melalui khotbah-khotbah, ceramah atau
penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum. Karena bagaimanapun juga
baiknya suatu sistem, jika memang individu-individu di dalamnya tidak dijiwai
oleh nilai-nilai kejujuran dan harkat kemanusiaan, niscaya sistem tersebut akan
dapat disalahgunakan, diselewengkan atau dikorup.
DAFTAR
PUSTAKA
Gie. 2002. Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih
Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan.
Mochtar. 2009. “Efek Treadmill” Pemberantasan Korupsi
: Kompas
UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Strategi pencegahan & penegakan hukum Tindak
Pidana Korupsi (Chaerudin,SH.,MH. Syafudin Ahmad Dinar,SH.,MH. Syarif
Fadillah,SH.,MH.)
Modus Operandi Pelanggaran Keppres No. 80 tahun 2003
dari Perspektif KPK
(http://nurulsolikha.blogspot.com/2011/03/upaya-pemberantasan-korupsi-di.html ) Budiyanto, Drs. MM. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA
Kelas X. Jakarta: Erlangga
Drs.Joko Budi santoso. Pendidikan kewarganegaraan
untuk SMK Kelas X
Hamzah jur andi,(2005), pemberantasan korupsi, Jakarta,PT Raja Grafindo Persada
Dikoro wirdjono projo,(2005),tindak pidana tertentu di Indonesia, Jakarta,PT Raja Grafindo
Persada
Komisi Pemberantasan Korupsi (2008), Survei Persepsi
Masyarakat Terhadap KPK dan Korupsi Tahun 2008.